Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Tri Adi
PT Intiland Development Tbk termasuk perusahaan properti ternama di Indonesia. Perusahaan ini sempat terpuruk saat krisis moneter 1998, namun bisa bangkit tanpa PHK, dan utangnya mampu dilunasi. Bagaimana Intiland mengarungi krisis dan bisa tetap eksis? Hendro S. Gondokusumo, CEO PT Intiland Development Tbk, membeberkannya kepada Jurnalis KONTAN, Asnil Bambani.
Saya orang pertama yang memulai bisnis properti di keluarga. Orangtua dan kerabat saya justru berbisnis agribisnis, seperti kopi, gula, teh dan kedelai. Karena baru memulai, tentu saya memulai bisnis properti itu dari nol.
Proyek perumahan pertama saya pada tahun 70-an ada di Cilandak, yang saya jual ke pegawai Pertamina. Jangan bayangkan jual perumahan itu seperti sekarang. Dulu sulit sekali menjualnya, apalagi bisa jual ke perusahaan.
Setelah itu, saya bangun perumahan kedua yang menyasar pedagang Pasar Pagi. Saat itu saya salah strategi. Pedagang Pasar Pagi tak suka tinggal di rumah yang ada halaman dan teras belakang. Kata mereka, tak aman. Pedagang saat itu lebih suka tinggal di ruko. Itulah karakter pedagang tahun 70-an, senang tinggal di ruko. Sehingga, saya butuh upaya agar bisa jual perumahan bernama Taman Harapan Indah itu.
Saya tak menyerah. Saya cari cara dan nongkrong dengan pedagang itu. Hingga akhirnya, saya rombak propertinya dan saya bikin rumah compact, barulah mereka pada beli.
Menyusul proyek properti saya yang lain, termasuk Pantai Mutiara di Pluit. Ini adalah proyek reklamasi pertama di Asia Tenggara tahun 80-an.
Saya melakukan reklamasi dan membangun perumahan menghadap ke pantai di atasnya. Saat itu, saya terinspirasi perumahan di luar negeri. Pantai menjadi kawasan paling mahal. Bagi saya, pengusaha properti yang berhasil reklamasi itu pendidikannya sudah setara lulusan PhD. Kalau hanya bikin perumahan saja, itu ibarat baru lulus sekolah. Kenapa? Soalnya, tingkat kesulitan reklamasi itu tinggi sekali.
Apalagi lokasinya di Teluk Jakarta yang bawahnya bukan pasir seperti di Singapura, atau batu seperti di Australia. Di bawah Teluk Jakarta itu banyak lumpur, sehingga sulit mereklamasinya. Dan saya melakukannya untuk Pantai Mutiara, yang kini banyak disenangi bule.
Fokus di properti
Hingga sekarang, saya fokus di properti dan tak tergoda bisnis lain. Padahal tahun 80-an, banyak yang merayu saya ikut bisnis kayu yang saat itu booming. Namun prinsip saya, bisnis itu harus fokus dan total. Bahkan saya harus tinggal dengan bisnis itu. Jika saya bisnis kayu, tentu saya harus tinggal di hutan. Saya tidak mau.
Saya tipe orang yang tinggal dan menetap di tempat saya berbisnis. Makanya saya tolak tawaran bisnis kayu dan juga bisnis tambang. Beda dengan proyek properti, saya bisa tinggal di situ, dan bisa mengikuti progresnya dari awal. Saya bisa mengontrolnya dan mengevaluasinya setiap saat.
Bagi teman-teman yang baru mau berbisnis properti, pertama kali yang harus diperhatikan adalah, fokus di bisnis properti itu dan jangan mendua. Bisnis ini bukan bisnis hit and run, kamu beli terus langsung jual lagi. Properti itu bisnis yang butuh fokus, karena masalahnya banyak dan bisa bertambah setiap hari. Tapi peluangnya besar, karena setiap orang butuh properti. Setiap hari, jumlah orang semakin bertambah.
Meski saya bikin properti sejak tahun 70-an, bukan berarti jalan saya lancar-lancar saja. Tahun 1998, saya diterpa badai krisis ekonomi, dan boleh dibilang saya bangkrut. Rupiah terpuruk, sementara utang dollar AS saya mencapai US$ 50 juta. Sementara aset saya dalam bentuk rupiah. Saya pun terpuruk.
Sempat saya tak punya uang lagi bayar gaji 2.000 karyawan. Saat itu, saya tak mau PHK, karena juga tak punya uangnya. Saat itu, saya hanya minta melakukan pemotongan gaji dan menjual aset yang masih bisa dijual. Dengan semangat kekeluargaan, karyawan menerimanya tanpa ada PHK.
Setelah melakukan pemotongan gaji, selanjutnya saya harus mencarikan aktivitas untuk karyawan tersebut. Karena tidak ada proyek properti saat itu, saya kemudian mengajak karyawan menanam produk agribisnis di lahan yang kita miliki. Semua karyawan bercocok tanam, tak peduli jabatannya apa. Mereka menanam jagung dan sayuran hidroponik.
Hasil pertanian itu kami jual untuk umum dan juga untuk karyawan. Semuanya dilakukan agar karyawan memiliki aktivitas, karena proyek properti tak ada. Untuk karyawan yang kreatif, ada yang bikin sekolah di lokasi properti yang kami punya. Intinya, saya memberikan kesempatan kepada karyawan untuk beraktivitas.
Bahkan, ada juga yang memelihara kodok batu di lokasi proyek yang terbengkalai. Kodok yang berkembang biak kemudian bisa dijual lagi dan menguntungkan. Yang bikin lucu, ada karyawan berinisiatif menyuapi kodok agar tidak mati karena stres di area baru.
Bercocok tanam maupun beternak kodok bukan semata-mata menghasilkan uang. Aktivitas itu justru punya manfaat lebih besar. Karyawan melindungi aset milik perusahaan yang saat itu rentan dipatok oleh massa. Saya juga terbantu, aset-aset saya tidak hilang.
Meski demikian, utang tetaplah utang dan saya harus membayarnya. Memang ada pengusaha yang utang saat krisis lari ke luar negeri. Saya tidak begitu. Jika saya pergi, tanah saya bisa hilang. Saya memilih bertahan dan menjual tanah yang bisa terjual, termasuk menjual tanah pribadi untuk membayar gaji karyawan.
Saat krisis ekonomi terjadi, ada dua proyek properti kami yang sedang jalan. Salah satunya adalah apartemen Kintamani. Kintamani terancam terlantar jika tidak kami teruskan bangunnya. Untuk melanjutkan pembangunan, kami terus terang soal kesulitan dana kepada pembeli.
Kami kemudian mengajak pembeli menambah harga pembelian, agar kami bisa meneruskan pembangunan. Jika tidak ada penambahan dana, kami jujur tak sanggup meneruskan proyek tersebut, karena harga semua barang bangunan naik, alat berat juga naik, dan ongkos kontraktor juga naik.
Setelah sepakat, kami berhasil merampungkan apartemen Kintamani dengan kerugian US$ 2 juta. Tetapi catatan proyek kami bersih. Kami tidak meninggalkan masalah dengan konsumen. Semua proyek berjalan lancar kembali. Pembeli unit apartemen Kintamani juga untung, karena saat serah terima harga unitnya naik tinggi.
Selain itu, kami juga terbantu penjualan tanah di kawasan industri. Dan yang paling banyak membantu kami saat krisis ekonomi adalah teman-teman kami, karyawan kami. Mereka rela bertahan di perusahaan meski gaji dipotong. Padahal karyawan dengan golongan manajer ke atas bisa saja ke luar dan mencari kerja lain yang lebih menjanjikan saat itu.
Kepercayaan nomor satu
Tapi mereka memilih bersama kami membangun ulang Intiland. Selain penjualan kawasan industri, kami juga terbantu penyewaan perkantoran di Intiland Tower di Jl Sudirman. Sejatinya pembangunan gedung ini yang membuat kami utang dalam bentuk dollar AS. Tapi akhirnya utang itu kami selesaikan tanpa kabur ke luar negeri.
Saat krisis datang dan saya terlilit utang, saya menyatakan kesiapan saya membayar. Itu saya lakukan untuk menjaga kepercayaan. Dan aset yang paling berharga bagi pengusaha itu adalah kepercayaan. Saya berkeyakinan, kepercayaan itu modal utama saya. Saya tetap konsisten berusaha membayarnya, meski berhadapan dengan bunga tinggi atau bunga rendah, jika lagi beruntung. Saya minta diskon, ternyata susah sekali.
Saat ini, saya menikmati buah dari kesulitan yang lalu. Konsistensi saya membuat siapa pun kini percaya dengan saya. Jika butuh investasi, dengan mudah bank datang kepada saya. Seandainya saya tak mau bayar utang saat itu, tentu saat ini bank tak lagi percaya kepada saya.
Dari pengalaman itu saya memetik pelajaran, dan karyawan saya menjadi teman kuliah saya. Hal penting lain, selain membangun kepercayaan adalah jangan pernah menjadi follower. Pengusaha properti harus menjadi diri sendiri dan bentuk bisnis sendiri tanpa mengikuti orang lain. Untuk menciptakan proyek sendiri, saya mencari inspirasi dari luar negeri, dari kota-kota modern.
Jika dulu caranya harus datang ke kota tersebut, sekarang bisa dilakukan hanya duduk di depan laptop dan memanfaatkan Google. Selanjutnya, jangan pernah berniat negatif untuk menjatuhkan bisnis kompetitor. Percayalah, niat sebelum bisnis kompetitor jatuh, bisnis kita justru bisa jatuh duluan.
Implementasinya bisa dilihat dari pola membangun proyek. Jangan bangun proyek yang menyasar segmen pasar yang sama dengan kompetitor. Karena pada akhirnya bisa saling berkompetisi. Ujungnya, tenaga kita habis hanya untuk saling menjatuhkan harga atau menjatuhkan kompetitor. Itu juga pikiran negatif, singkirkan itu.
Kemudian jangan pernah merasa sukses. Terus belajar dengan siapa pun. Apalagi sekarang banyak anak muda milenial yang punya tradisi bekerja sendiri. Meski saya berpengalaman puluhan tahun, namun saya tak pernah mau bilang saya paling mengerti di bisnis properti. Saya memberikan kesempatan anak muda berkiprah. Saya hanya mengingatkan, tetapi tidak membantah.
Saya juga sedang mempersiapkan anak saya yang sudah bergabung menjadi direktur di Intiland. Dia sebelumnya kuliah di Amerika Serikat (AS) dan sempat mendirikan bisnis di Toronto. Saya memanggilnya pulang karena sudah saatnya menyiapkan penerus. Saat ini, dia sudah menangani proyek Intiland yang jauh lebih rumit dan lebih besar dari proyek yang saya bangun sebelumnya.
Saya percaya, setiap orang punya potensi. Saya tak pernah takut anak saya salah. Yang saya takutkan adalah dia salah terus menerus. Kesalahan satu kali bisa membuat dia belajar agar tidak salah lagi.
Hendro Santoso Gondokusumo
CEO PT Intiland Development Tbk
Merasa menjadi brand ambassador MRT
Salah satu pihak yang paling diuntungkan oleh pembangunan fasilitas transportasi publik mass rapid transit (MRT) beberapa bulan lalu adalah perusahaan properti yang ada di sepanjang jalur MRT. Salah satu yang mengutip berkah itu adalah Hendro Santoso Gondokusumo, pendiri sekaligus Presiden Direktur PT Intiland Development Tbk.
Hendro yang sudah bertahun-tahun mendambakan fasilitas transportasi publik itu, kini menikmati cuan dari kenaikan harga jual aset propertinya yang membentang tak jauh dari jalur MRT. Begitu juga dari nilai sewa untuk aset properti yang mereka sewakan.
Beberapa proyek properti Intiland yang memiliki akses ke MRT itu antara lain; kawasan mixed-use dan high rise South Quarter di TB Simatupang, kemudian Fifty Seven Promenade di Jalan Thamrin, Intiland Tower di Jalan Sudirman, dan Grand Whiz Poins Square di Lebak Bulus. "Total ada delapan lokasi Intiland yang bisa mengakses jalur MRT," kata Hendro.
Untuk mendukung transportasi publik tersebut, Hendro juga membuat kebijakan penyediaan shuttle bus dari lokasi properti Intiland yang dekat dengan stasiun MRT. Kehadiran bus tentunya untuk membantu penghuni kawasan properti Intiland menjangkau MRT. "Bus tersebut berkala bolak-balik ke stasiun untuk mengantar dan menjemput penumpang, sehingga nanti mereka bisa meninggalkan kendaraan mereka di rumah atau di apartemennya," kata Hendro.
Selain itu, Hendro juga memopulerkan menggunakan MRT di kantornya di Intiland Tower di Jalan Sudirman. Ia kerap mengajak karyawannya untuk menikmati fasilitas transportasi publik tersebut. Saat waktu istirahat siang tiba, Hendro kerap mengajak karyawan untuk berburu kuliner ke Blok M menggunakan MRT. "Saat ke luar kantor, sudah ada pintu stasiun," kata Hendro, yang belakangan sedang gemar mengoleksi lukisan.
Selain itu, Hendro juga rutin mengajak tamu-tamunya yang datang ke kantor untuk naik MRT. Usahanya memopulerkan penggunaan MRT itu membuat Hendro merasa sudah layak menjadi brand ambassador MRT, yang mempromosikan MRT di mana-mana. Hendro bahkan tak sungkan mempromosikan MRT saat temu bisnis maupun di acara marketing penjualan proyek propertinya.
Tak hanya menguntungkan secara bisnis, kehadiran MRT juga membuat Hendro bisa lebih sehat dan bisa berolahraga. Sebab, di usianya yang sudah 65 tahun, Hendro mesti menjaga kesehatan dan kebugaran dengan berolahraga. "Olahraga yang baik dan cocok bagi orang seusia saya adalah berjalan kaki. Kalau saya naik MRT, saya bisa berjalan di sepanjang koridor stasiun sampai ke kantor," kata Hendro.
Dalam sehari, Hendro menargetkan berjalan kaki sebanyak 10.000 langkah. Selain mengandalkan jalan kaki dari dan menuju stasiun MRT ke kantor, Hendro juga rutin berjalan kaki di pagi hari. Saat matahari pagi menyingsing, Hendro sudah berjalan kaki sembari menikmati hangatnya sinar matahari pagi menerpa tubuhnya. "Sinar matahari itu adalah sinar paling baik bagi kita. Sudah kagak bayar, bermanfaat pula bagi tubuh," kata Hendro menceritakan hobinya itu kepada KONTAN sembari berjalan mengitari apartemen 1St Park Avenue di Jakarta Selatan.
Ketika target 10.000 langkah jalan kakinya tak terpenuhi dalam sehari, jangan kaget jika melihat Hendro bolak-balik berjalan mengitari rumahnya. Jangan kira dia sedang pusing atau banyak pikiran. Itu pertanda dia sedang menyelesaikan target jalan kakinya sebanyak 10.000 langkah. "Olahraga itu penting dan harus disempatkan meski sibuk," katanya.
Asnil Bambani
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News