Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Mesti Sinaga
KONTAN.CO.ID - Pertumbuhan bisnis asuransi masih lesu. Sebagai generasi kedua, Christian Wirawan Wanandi, CEO PT Asuransi Wahana Tata (Aswata), bertugas mengembangkan dan menjaga reputasi perusahaan yang didirikan ayahnya itu.
Kepada Jurnalis Kontan Putri Werdiningsih, Christian mengungkapkan strateginya untuk membesarkan Aswata sekaligus menjaga kepercayaan nasabah dan karyawan.
Saya langsung berkecimpung di bidang asuransi begitu lulus dari Universitas Northeastern, Boston, Amerika Serikat. Yang menyuruh masuk ke bisnis ini kebetulan langsung ayah saya Rudy Wanandi, yang juga founder PT Asuransi Wahana Tata (Aswata). Waktu itu tugas saya, ya masih bantu-bantu saja.
Sebelum bergabung di Aswata, sekitar 8 tahun saya sempat bekerja di anak perusahaan yang membidangi asuransi jiwa, namanya PT Asuransi Winterthur Life Indonesia. Di perusahaan ini, saya menjabat sebagai alternative distribution channel & broker director.
Baru pada 2009 saya mendapatkan kepercayaan sebagai Chief Executive Officer (CEO) PT Asuransi Wahana Tata. Saat itu saya baru masuk ke induk, dan langsung menjadi CEO.
Ayah saya memberikan amanat agar saya mengembangkan perusahaan sekaligus menjaga reputasi perusahaan. Karena perusahaan ini kan sudah lumayan lama. Tahun depan usianya sudah 55 tahun.
Begitu masuk perusahaan ini, saya melakukan pemetaan bagaimana kemungkinan mengembangkan bisnis yang ada, khususnya asuransi umum. Saya mencari apa bisnis yang bisa dikembangkan atau yang bisa difokuskan lagi.
Tentu cara berbisnis di asuransi jiwa ke asuransi umum agak beda. Dari yang sebelumnya di anak perusahaan sebagai direktur, terus ke induk sebagai CEO, perubahannya cukup besar. Apalagi budayanya juga beda. Winterthur adalah perusahaan joint venture, sedang Aswata adalah bisnis lokal.
Pada bulan pertama masuk Aswata ada appetizer gempa Padang. Kalau enggak salah, September 2009. Kami harus mengirim tim dari kantor pusat untuk melakukan verifikasi klaim dan untuk membantu di Padang.
Kami memikirkan bagaimana dengan nasib karyawan di sana, sementara bisnis harus tetap beroperasi.
Tetapi kami bersyukur, kurang dari setahun, semua klaim sudah lunas. Lumayan besar klaim yang kami bayar, jumlahnya sampai Rp 300 miliar. Selama saya memimpin, itu klaim yang paling besar.
Tugas berat penerus
Saya menjadi CEO pada umur 32 tahun. Proses penyesuaian memang enggak lama. Saya terus berjalan sambil belajar, dan menghadapi semua persoalan satu per satu.
Bagi saya, dalam memimpin sebuah tim, hal penting adalah board of director harus kompak dulu sebagai team work. Mereka harus memiliki satu visi bersama, supaya bisnis bisa berjalan baik.
Saya sebagai orang yang baru masuk tak bisa melakukan perubahan langsung signifikan. Saya harus pelan-pelan memperbaiki apa yang kurang.
Zaman terus berubah.
Semua orang harus siap berubah. Termasuk di bidang teknologi informasi, kami juga sudah berubah. Saat ini beberapa struktur kerja, struktur internal, juga banyak berubah. Kami terus mengembangkan nilai dan meningkatkan profesionalisme.
Sembilan tahun ini cukup banyak keputusan besar yang kami ambil. Yang paling berkesan, 4 atau 5 tahun lalu, agar perusahaan lebih prudent, saya memutuskan untuk mengurangi portofolio bisnis yang tidak sehat, yaitu asuransi properti.
Karena risiko yang tinggi, kami harus lebih selektif. Klaim rasionya enggak bagus, sehingga harus dikurangi. Sekarang bisnis ini masih ada, cuma enggak sebanyak dulu. Dari total premi, porsi asuransi properti turun menjadi sekitar 20%.
Bagi saya, tugas berat melanjutkan bisnis keluarga adalah mempertahankan. Ayah saya sudah melakukan banyak hal untuk memajukan perusahaan ini, hingga saya harus menjaga nama baik dan reputasinya. Menjaga nama baik lebih susah daripada membangun dari awal.
Saya juga harus beradaptasi dengan situasi yang telah berubah, mulai dari sumber daya manusia, kondisi pasar, hingga persaingan. Kami harus meyakinkan komisaris dan pemegang saham bahwa apa yang kami lakukan sudah sesuai dengan kondisi saat ini.
Yang paling sulit itu, menurut saya, untuk bisa dipercaya. Logikanya orang pasti melihat perusahaan ini telah beregenerasi dari bapak ke anaknya. Yang disorot, bisa enggak nih anaknya seperti bapaknya.
Saya yakin, semua pihak baik dari internal maupun eksternal memberi penilaian seperti itu. Saya merasa enggak sempurna, masih banyak kekurangan. Tapi yang penting, seorang CEO harus mengemban tugas secara profesional.
Dalam tiga tahun terakhir, industri asuransi kurang menggembirakan. Pertumbuhan masih single digit. Padahal selama 15 tahun terakhir, industri asuransi itu pertumbuhannya bisa mencapai kisaran 15%-25%. Tahun lalu saja cuma tumbuh 2%.
Tahun ini (2018) belum tahu seperti apa. Perkiraan saya, masih single digit. Walau semester I-2018 tumbuh 11%, tetapi per September pertumbuhannya turun 8%. Secara margin, makin lama kian tipis. Selain itu, asuransi umum penetrasinya memang kecil.
Tahun depan (2019) saya rasa masih sama seperti tahun ini. Apalagi tahun depan tahun politik. Untuk asuransi umum, ada pertumbuhan, tapi enggak banyak. Apalagi persaingan di bisnis ini cukup berat. Ada 76 asuransi umum hingga kuenya tidak cukup banyak untuk dibagi-bagi.
Sekarang kami mau mengembangkan lebih banyak produk ritel dengan teknologi dan produk baru. Kalau sekarang porsi ritel 20%-30%, ke depan kami harapkan tumbuh sampai 40%. Target ini mungkin bisa dicapai dalam 3-5 tahun ke depan.
Saat ini, kami sedang bekerja sama dengan insurtech asal Korea Selatan, bernama 9Lives. Melalui aplikasi teknologi asuransi itu, Aswata menjual produk asuransi kecelakaan diri yang pengajuan klaimnya bisa dilakukan langsung.
Nasabah hanya perlu upload dokumen yang diperlukan, sehingga proses klaim tidak terlalu panjang.
Bisnis harus mengikuti perkembangan teknologi, supaya biaya lebih efisien. Kami harapkan bisnis dapat berkembang tanpa penambahan biaya yang luar biasa. Pada saat margin bisnis makin tipis seperti terjadi belakangan ini, maka biaya memang harus lebih efisien.
Bukan pilihan seksi
Bicara soal sumber daya manusia di bisnis ini, faktanya bekerja di industri asuransi bukan pilihan yang seksi untuk kalangan fresh graduate. Kami bukan prioritas utama mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu, turn over kami cukup tinggi, yakni sekitar 7%- 8%.
Kami menemukan orang yang melamar bekerja di sini kebanyakan karena mereka masih menunggu panggilan pekerjaan yang lain. Kalau dapat pekerjaan baru, ya mereka lepas.
Anak muda zaman kini tingkat sensitifitasnya di 3 tahun pertama. Kalau lewat dari 3 tahun, mereka akan bertahan lama. Kalau 2 tahun keluar, ya sudah.
Untuk menjembatani kondisi ini, kami banyak melakukan penyesuaian ke arah anak muda. Misalnya, dalam hal memakai seragam. Sebelumnya, kami memakai seragam berupa jas dari Senin sampai Kamis. Sekarang, itu tidak wajib. Misalnya setiap Kamis, bisa pakai kotak-kotak.
Dalam hal jam kerja juga lebih fleksibel. Kami mulai jam 8.30 WIB sampai jam 17.30 WIB. Ruangan kantor juga sudah mulai terbuka untuk memberi suasana berbeda.
Saya menekankan kepada karyawan, di industri asuransi yang paling penting adalah kepercayaan. Kalau enggak percaya, ya bagaimana bisa. Wong yang dijual cuma kertas saja. Tanpa komitmen yang jelas, bagaimana orang mau percaya kepada kita.
Karena itu, saya berharap karyawan bekerja dengan hati. Kalau enggak peduli dengan nasabah, bagaimana bisa mengembangkan usaha ini. Meskipun, untuk menjadi seperti harapan nasabah memang perlu usaha yang besar.
Saya ini tipe pimpinan yang tegas. Selama kerja benar, mau mengemukakan pendapat tidak masalah. Selama orang sudah benar dan jujur, kenapa orang harus merasa takut. ◆
**
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik CEO Tabloid KONTAN edisi 3 Desember -9 Desember 2018. Untuk mengaksesnya silakan klik link berikut: Komitmen Bangun Kepercayaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News