kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Melawan dominasi motor merek Jepang


Selasa, 16 April 2019 / 13:57 WIB
Melawan dominasi motor merek Jepang


Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Tri Adi

Dengan menggandeng tiga korporasi lokal, Kristianto Goenadi, Presiden Direktur PT Penta Jaya Laju Motor, membangun jaringan bisnis sepeda motor Eropa lewat merek KTM Indonesia. Namun, tak mudah menghadapi dominasi sepeda motor merek Jepang di pasar. Kepada Jurnalis KONTAN, Asnil Bambani, Kristianto membeberkan strategi bisnisnya.

Sebelum bisnis sepeda motor KTM, saya sudah berkecimpung di bisnis otomotif sejak 90-an. Saya bekerja di Grup Astra 10 tahun lamanya. Waktu itu, saya mengurus ekspor sepeda motor Astra ke berbagai negara. Saya memutuskan membuka bisnis tahun 2000-an, saat pemerintah melonggarkan regulasi impor sepeda motor.

Saat itu, saya impor sepeda motor bebek dari China merek Lochin tahun 2000-an. Namun, bisnis sepeda motor bebek tak lama saya lakoni. Saya selanjutnya ambil peluang berbisnis sepeda motor sport. Saya bikin terobosan memproduksi sepeda motor merek Minerva.

Minerva hasil kerjasama saya dengan Sachs dari Jerman. Teknologi yang mumpuni dan desain yang menarik membuat Minerva laris manis tahun 2008. Bahkan saya bisa menjual Minerva 2.000 unit per bulan. Selain desain menarik, harga yang jauh di bawah harga sepeda motor sport merek Jepang menjadi daya tariknya.

Namun pasar berkembang, model dan desain sepeda motor juga sport berubah. Minerva kesulitan mengikutinya. Apalagi kami tidak memiliki research and development (R&D). Maklum, R&D butuh investasi yang tak sedikit. Inilah yang menjadi kendala saat itu. Sementara kompetitor dari Jepang agresif meluncurkan desain, bahkan setiap tahun ganti stiker.

Kondisi itu membuat saya harus mencari alternatif produk otomotif lain. Mulai 2016, saya menggandeng KTM dari Austria. Saya tahu, KTM punya R&D yang kuat, sehingga tak perlu memikirkan model dan produk baru. Saya bisa fokus merakit dan memasarkannya.

Untuk mendirikan KTM Indonesia, saya menggandeng tiga shareholder, yaitu grup Indospring di Sidoarjo, Nasmoco Group di Jawa Tengah, dan Santini Group milik Sofyan Wanandi di Jakarta. Saham terbesar dimiliki Nasmoco yang juga punya bisnis otomotif.

Adapun Indospring, memiliki pengalaman dalam hal produksi komponen otomotif dengan lokasi pabrik di Sidoarjo. Dari awal, KTM Indonesia telah menyusun rencana pendirian pabrik di Gresik, dekat dengan fasilitas pabrik komponen Indospring, karena kami ingin 10% produksi KTM menggunakan produk lokal.

Progres pembangunan pabrik saat ini sudah 80% dengan target kemampuan produksi 200 unit per hari. Kami berharap, izin perakitan completely knocked down (CKD) pabrik senilai US$ 3 juta itu bisa keluar tahun ini. Sembari itu, kami bangun dulu jaringan, yang saat ini sudah mencapai 23 diler.

Jika pabrik beroperasi, saya memastikan harga KTM bisa turun, meski tak besar. Saya optimistis mendapat pasar, karena jumlah penduduk Indonesia besar, dan fasilitas transportasi umum belum memadai.


Lawan dominasi Jepang

Di bisnis sepeda motor ini, saya tak mau masuk segmen skutik dan bebek. Dari awal masuk, KTM fokus di pasar sepeda motor sport premium di harga Rp 30 juta ke atas. Segmen yang saya bidik adalah pasar yang butuh sepeda motor untuk ke kantor, tetapi bisa untuk hangout, touring, racing, maupun hobi. Peluang ini kami peroleh setelah melakukan survei pada tahun 2016.

Hal ini terbukti, penjualan kami naik dobel digit tahun lalu. Tahun ini, kami target penjualan 360 unit per bulan, naik dari tahun lalu sebanyak 200 unit per bulan. Untuk mencapai itu, saya buka diler fokus di kota prioritas, sehingga saya tidak buka sekaligus di banyak kota.

Saat awal buka, kami buka 6 diler di Jakarta saja, baru setelah itu buka Jawa Barat, menyusul Jawa Timur dan Jawa Tengah. Setelah itu, baru buka di Lampung dan Pontianak. Semua diler melayani penjualan, spare parts, dan servis. Selanjutnya, kami rutin merilis produk baru. Bulan lalu, kami meluncurkan KTM offroad.

Namun, bisnis sepeda motor punya tantangan berat, yakni dominasi sepeda motor merek Jepang. Tak mudah melawannya, karena mereka menguasai jaringan gerai, infrastruktur, dan pembiayaan. Makanya kami tak mau masuk segmen bebek atau skutik yang menjadi santapan merek Jepang.

Kami lebih tertarik mengambil ceruk pasar motor sport, meski hanya memiliki segmen pangsa pasar 11% dari total pasar sepeda motor. Setidaknya, kami bisa belajar dari kesulitan yang pernah dialami merek sepeda motor India yang sulit mendapatkan pembiayaan di Indonesia. Meski merek Eropa, namun kami masih menjadi anak tiri di bisnis pembiayaan, karena volume penjualan kami masih kecil.

Keranjingan memotret memakai drone
 
Salah satu peralatan yang tak bisa terpisahkan dalam keseharian dan kesibukan Kristianto Goenadi, Chief Executive Officer (CEO) KTM Indonesia, adalah peralatan fotografi. Dalam beraktivitas sehari-hari, ia selalu membekali dirinya dengan peralatan kamera, meskipun itu kamera handphone. Fungsinya tak lain dan tak bukan adalah untuk merekam momentum spesial sehari-hari.

Hampir di segala kegiatannya, Kristianto kerap mengabadikan dalam bentuk foto. Saking hobi dengan fotografi, ia bahkan mengoleksi hampir seluruh jenis lensa kamera. Baik lensa zoom, tele, potrait, makro, saya punya semua dan tak tahu lagi berapa investasi yang telah saya keluarkan untuk kamera ini, kata Kristianto yang ditemui KONTAN di kantor KTM Indonesia di Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Dalam hal pengambilan foto, pria berkacamata itu tidaklah memilih objek fotonya. Meski hanya memotret teman-temannya, Kristianto sukarela melakukannya tanpa keberatan. Baginya, foto bisa menyatukan persahabatan dan bisa menghubungkan relasi bisnis. Jika saya ada acara baik itu komunitas atau bisnis, saya akan menyempatkan diri untuk memotret, terang pria yang akrab disapa Kris itu.

Demi hobi, Kristianto rutin berkelana dan mendatangi sejumlah daerah eksotik di Indonesia. Ia pernah memotret di sejumlah daerah yang memiliki pemandangan indah, seperti Bukittinggi, Yogyakarta, Bali, Sukabumi, Jawa Tengah, Pulau Komodo, Lombok, Labuan Bajo, dan banyak lagi. Kristianto rela merogoh isi dompetnya untuk bertandang ke Myanmar, India, China, dan lainnya untuk menekuni hobi memotret tersebut. Demi memotret sunrise, Kristianto juga mau bangun dini hari agar bisa mengabadikan keindahan matahari ketika terbit.

Untuk hobi ini juga, Kristianto kerap harus menambah waktu perjalanan bisnis agar bisa berburu foto. Anda yang penasaran melihat karyanya, bisa singgah di Instagramnya. Kalau ke luar negeri, saya terkadang melebihkan waktu satu atau dua hari agar maksimal mendapatkan gambar-gambar bagus, kata Kris.

Nah, seiring perkembangan teknologi dunia fotografi, Kristianto berusaha untuk mengikutinya, termasuk perkembangan teknologi fotografi yang memakai drone, atau pesawat tanpa awak. Kris yang sudah membeli drone itu kemudian berlatih otodidak. Saat ini saya baru menggunakan drone untuk foto, untuk video belum, kata Kris.

Usai memakai drone, Kris menyadari pengambilan foto high angle terbaik adalah dengan cara memakai drone. Meski keranjingan menggunakan drone, namun Kris bilang belum tertarik mengurus sertifikasi menjadi pilot drone. Saya memakai drone sebatas untuk hobi saja, sementara sertifikasi pilot drone baru penting untuk mereka yang menekuninya secara profesional, jelasnya.♦

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×