Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Mesti Sinaga
KONTAN.CO.ID - Industri periklanan terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Untuk bisa bertahan di bisnis ini, mau tak mau, para pelakunya juga harus berinovasi.
Kepada jurnalis KONTAN Putri Werdiningsih, Maya Carolina Watono, Country CEO DAN Indonesia, berbagi cerita bagaimana dia
melanjutkan bisnis keluarga sekaligus mengelola perusahaan agar bisa bertahan di era digital.
Saya dulu lama bersekolah di Australia. Sekitar tahun 2006, baru saya kembali ke Indonesia. Saat itulah, pertama kali saya masuk ke dunia periklanan.
Waktu itu, saya diminta ayah saya, Adji Watono, pendiri Dwi Sapta Group, untuk mencoba dulu. Selama kurang lebih 3 bulan, ternyata senang dan enjoy. Akhirnya saya sadar kalau passion saya di situ.
Sebenarnya background pendidikan saya bukan di periklanan. Saya kuliah psikologi di University of Western Australia dan mengambil S2 di bidang marketing. Setelah lulus, saya sempat bekerja selama 1,5 tahun di Australia.
Sebagai generasi kedua di bisnis periklanan, memang ada ekspektasi pada saya untuk melanjutkan bisnis keluarga.
Tahun 2006, saya memulai menjadi general manager dengan 10 staf di agensi kecil bernama Main Ad di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Setelah 5 tahun,saya pindah ke DSP Media, masih satu grup Dwi Sapta.
Saya baru bergabung di Dwi Sapta pada tahun 2012. Posisi awalnya sebagai managing director. Kemudian sekitar Januari 2017, saya diangkat menjadi CEO.
Kenaikan posisi saya ini berbarengan dengan merger Dwi Sapta dengan agensi periklanan terbesar di dunia, Dentsu Aegis Network (DAN). Kami memegang 49% saham dan Dentsu 51%.
Saya terlibat dalam pembicaraan merger tersebut. Dalam kesepakatan awal, memang owner awal memegang management control.
Pada 12 Desember, saya terpilih menjadi Country CEO DAN Indonesia. Ada beberapa pesan yang disampaikan. Saya harus bisa menjaga integritas dan kejujuran sebagai nilai-nilai yang sudah diusung selama ini.
Kemudian dari bisnis, saya juga harus bisa terus menumbuhkan bisnis DAN. Indonesia adalah pasar yang sangat potensial. Begitu juga dengan ASEAN. Mau tidak mau, kami harus terus mendorong pertumbuhan bisnis.
Setelah memetakan kondisi perusahaan, saya harus punya rencana bisnis di tahun 2019 dan untuk 3 tahun ke depan.
Saya harus melakukan brand maping di DAN Indonesia. Bagaimana 15 bisnis unit yang dimiliki bisa melayani klien dengan lebih baik lagi.
Sampai sekarang, proses adaptasi dengan DAN Indonesia masih terus berjalan. Buat saya, semua dijalani saja. Tidak ada yang spesifik.
Memang secara jangkauan, bisnis perusahaan ini lebih besar. Jumlah stafnya dua kali lipat dan pendapatan juga lebih besar. Tetapi, pada dasarnya, pekerjaannya sama dengan sebelumnya, hanya skalanya lebih besar.
Gaya kepemimpinan yang saya terapkan juga masih tetap sama. Mungkin di Dwi Sapta sudah terbiasa gotong royong dan kekeluargaan.
Itu juga yang harus saya terapkan di DAN Indonesia. Walaupun perusahaan multinasional Jepang, tetapi tetap ada rasa lokal, gotong royong, dan kekeluargaan.
Sebab, yang kami jual bukan berupa produk, melainkan service, idea, dan expertise. Semua adalah keahlian yang kami tawarkan. Maka dari itu, people are our assets. Sangat penting bagaimana kita me-manage talent yang ada.
Setelah maping brand DAN Indonesia, rencana saya akan mengembangkan ekosistem digital. Ini menjadi cara bagaimana unit bisnis kami bisa menyikapi perkembangan digitalisasi dengan baik. Sebab, dalam dunia digital, banyak sekali perubahan yang terjadi.
Penataan digital ekosistem ini kami lakukan mulai dari sumber daya manusia, training, pengetahuan, alat, hingga bagaimana cara pelayanan kami ke klien juga turut dimodernisasi.
Saya lihat, tantangan besar di sektor periklanan adalah digital. Kami sedang dalam proses berubah bentuk. Tak hanya periklanan, semua industri saat ini juga sedang melakukannya. Perlu menyikapi perubahan zaman itu agar tidak terlibas.
Soalnya, digital berkembang terus. Apa yang sudah cukup hari ini, belum tentu bisa bertahan pekan depan. Teknologi pasti akan berubah lagi. Kami harus terus beradaptasi dan berevolusi.
Sejak dua tahun lalu, kami mulai melakukan banyak training bagi karyawan. Setiap tahun, karyawan bisa beberapa kali mengikuti training. Bagaimana pun, kami harus tetap investasi ke arah sana.
Untuk melihat tren pasar, kami menggunakan data lembaga survei Nielsen. Dari sana, kami tahu bahwa tren sedang mengarah ke digital. Tentunya bisnis dan karyawan juga diarahkan menuju arah yang sama.
Tantangan generasi kedua
Saya memang mulai bisnis periklanan dengan mengelola bisnis keluarga. Tapi, bagi saya, langkah awal itu bukan merupakan beban.
Kalau merasa sebagai beban, maka pekerjaan akan terasa berat. Dibawa santai saja. Yang penting kita sudah melakukan yang terbaik.
Selain itu, peralihan generasi dari Pak Adji ke saya cukup natural. Sejak bergabung di Dwi Sapta, kami memang sering memimpin bersama suatu proyek. Kami bekerja berdampingan, step by step, sehingga peralihannya cukup smooth.
Saya punya prinsip, your style different with the previous generation. Generasi pertama, kedua, atau ketiga pasti memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda.
Kita tidak bisa berharap untuk memimpin usaha seperti ayah kita. Ayah kita mungkin bagus, tetapi itu bagus pada zamannya.
Karena itu, jangan mengikuti persis gaya kepemimpinan generasi sebelumnya. Tidak usah terlalu memikirkan ekspektasi orang. Pokoknya jalani saja.
Ayah saya membangun bisnis periklanan ini dari nol. Beliau bisa melukis apa pun di kanvas putih. Sedangkan ketika saya datang, ibaratnya lukisan di kanvas sudah setengah jadi. Saya tinggal meneruskan.
Orang mungkin berpikir, kalau semua sudah ada dan hanya tinggal meneruskan, itu terlihat mudah. Tetapi kenyataannya tidak.
Saat membangun, pasti memiliki risiko. Tetapi kalau bisnis sudah besar lalu dibangun lagi, risikonya justru jauh lebih besar dibanding saat mulai membangun. Menurut saya, itulah tantangannya.
Dalam mengelola perusahaan, saya selalu berusaha menciptakan lingkungan kerja dengan semangat tinggi. Kalau kita bekerja dengan semangat tinggi, semuanya terasa menyenangkan.
Saya juga tidak mempunyai filosofi kepemimpinan yang spesifik. Bagi saya, memimpin adalah dengan memberi contoh.
Kalau saya bekerja keras, staf saya bisa melihat dan mengikutinya. Prinsip saya adalah saat memimpin harus menghormati sesama.
Kalau kita menghormati staf, mereka juga akan menghormati kita. Saya percaya, apa yang kamu beri itu yang akan kamu dapat.
Saya mengharapkan karyawan tak cuma bisa bekerja keras, tetapi juga bisa bekerja dengan pintar. Mereka juga harus memiliki semangat kerja yang tinggi untuk bisa memberikan yang terbaik bagi perusahaan.
Saat ini dibanding agensi lain, turn over karyawan kami lebih rendah. Ini merupakan buah dari penerapan lingkungan kerja yang nyaman. ◆
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News